FRANK Lampard boleh saja kenyang makan asam garam sepak bola selama menjadi pemain. Tak banyak pesepakbola yang masuk dalam daftar pemain favorit Jose Mourinho. Yang pernah sukses besar di dua periode bersama Chelsea itu. Tapi Lampard masuk dalam daftar itu. Alasannya sederhana. Lampard adalah pemain cerdas.
Ia memiliki perbendaharaan taktik yang banyak. Siapa pun pelatih dan apa maunya, Lampard bisa menjalaninya. Adaptasinya dengan banyak model taktik sepak bola sangatlah bagus. Maka tak heran ia kemudian bisa menjadi legenda klub. Sebagai salah satu gelandang terbaik yang pernah dimiliki tim asal London itu.
Tapi itu sebagai pemain. Ketika memutuskan melanjutkan karier sepak bola sebagai pelatih. Lampard belum cukup pengalaman sebelum dipercaya menukangi mantan klubnya itu. Usianya juga terbilang sangat muda untuk ukuran pelatih.
Ditambah, ketika menangani Chelsea di musim panas 2019. Chelsea sedang menjalani sanksi embargo transfer. Mereka tidak boleh membeli atau meminjam pemain. Ditambah hengkangnya beberapa pemain penting. Hazard adalah kehilangan terbesar Chelsea saat itu.
Semua faktor itu akhirnya membuat Lampard masuk daftar manajer yang diprediksi akan dipecat lebih awal pada musim 2019/20. Ia bersama Ole Gunnar Solksjaer dipercaya akan dipecat sebelum musim dingin.
Tapi prediksi itu mereka patahkan. Walau tidak stabil. Lampard berhasil membawa Chelsea cukup konsisten di papan atas. Walau tak terlibat dalam perburuan juara. Setidaknya Chelsea begitu nyaman di zona Liga Champions.
Januari 2020, di mana Lampard harusnya bisa berbelanja pemain untuk menambah kekuatan. Yang mana setengah musim sebelumnya ia hanya mengandalkan banyak pemain muda. Tapi hal itu tidak dilakukannya.
Lampard sudah puas dengan komposisi skuatnya. Lebih dari itu, ia enggan melakukan belanja di pertengahan musim. Sementara para pemain incarannya sedang dalam performa bagus di klub masing-masing. Yang tentu tidak akan dilepas pada musim dingin.
Dengan pemain ala kadarnya itu. Lampard nyaris membawa Chelsea finish di peringkat ketiga Liga Inggris. Sebelum di laga terakhir disalip oleh Manchester United binaan Ole. Yang sejak mendatangkan Bruno Fernandes di pertengahan musim. Performanya makin stabil.
Musim baru tiba. Chelsea dan Lampard bergerak cepat. Hakim Ziyech, Malang Sarr, Timo Werner, Ben Chilwell, Thiago Silva, dan Kai Havertz mereka datangkan secepat kilat. Saat tim-tim Inggris lain sedang berhitung uang belanja karena pendapatan misim akibat pandemi. Chelsea begitu was wis wus bekerja di lantai transfer.
Enam pemain baru itu seolah menimbulkan harapan. Bahwa Chelsea tidak hanya akan bertarung untuk perebutan tiket otomatis Liga Champions saja. Chelsea ingin juara. Edouard Mendy kemudian menyusul sebagai rekrutan terakhir. Dan langsung menjadi benteng kokoh di bawah mistar gawang Chelsea. The Blues harusnya memang juara musim ini. Atau minimal, bersaing dengan Liverpool.
Tapi teori di atas kertas tak selalu sama dengan realita. Chelsea berjalan sempoyongan. Walau sempat menjalani periode 13 laga Liga Inggris dengan 1 kekalahan saja. Tapi secara umum. Yang terjadi di Chelsea meleset dari yang direncanakan.
Chelsea kini berada di peringkat kedelapan di klasemen sementara. Dari 17 laga, mereka meraih 7 kemenangan, 5 imbang, dan 5 kali kalah. Total 26 poin dikumpulkan Chelsea. Membuat 32 gol dan kebobolan 21 kali.
Lampard tentu dalam masalah besar. Ia adalah orang paling bertanggung jawab atas performa tak maksimal ini. Ditambah pemain yang ia datangkan tak langsung memberi impak bagus. Menurut laporan The Athletic, manajemen mulai menyoroti pemain pembelian Lampard.
Werner hingga pekan ke-17 ini baru membuat membuat 8 gol. Namun, pemain yang musim lalu bisa membuat 34 gol dan 13 asis untuk RB Leipzig itu sudah puasa gol di 12 pertandingan terakhir bersama Chelsea.
Sementara Havertz juga baru membuat 4 gol untuk Chelsea, dan belakangan kerap dicadangkan Lampard. Padahal, pemain yang dibeli dari Bayer Leverkusen itu bisa membuat 18 gol dan 9 asis musim lalu di klub Jerman.
Masih dari laporan yang sama. Lampard mulai sering berantem dengan pemainnya. Bahkan di hadapan media pun Lampard sering mengkritik performa anak asuhnya. Hal ini membuat ruang ganti semakin tidak nyaman. Menjadikan masalah Lampard kian dalam.
Belum lagi, manajemen Chelsea juga sudah mulai mencari alternatif pelatih pengganti Lampard. Perlu diingat. Chelsea bukanlah tim yang senang bersabar dengan pelatihnya.
Dalam 10 tahun terakhir, Chelsea sudah dibesut oleh delapan pelatih. Termasuk Lampard. Di luar Guus Hiddink yang menjadi manajer sementara pada musim 2015/16. Chelsea pernah bekerja sama dengan Carlo Ancelotti, Andre Villas-Boas, Roberto Di Matteo, Rafael Benitez, Jose Mourinho, Antonio Conte, dan Maurizio Sarri.
Tujuh manajer itu sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Tapi Chelsea adalah Chelsea. Presentasi manajernya saat mejelaskan proyek jangka panjang selalu dianggap angin lalu. Chelsea cuma mau satu hal. Setiap musim juara. Kalau tidak, ya didepak.
Bicara soal pencapaian. Lampard tentu masuk jajaran pelatih paling minor ketimbang nama-nama di atas. Maka tak ada alasan bagi Chelsea untuk mempertahankan Lampard lebih lama. Kalau tim belum juga dibawa ke jalur kemenangan.
Legenda Manchester United, Roy Keane yang kini menjadi analis sepak bola. Paham betul bagaimana tabiat Chelsea. Dan dia bilang, Lampard memang sedang di ambang pemecatan. Kalau situasinya tak kunjung membaik dalam beberapa laga ke depan.
“Saya tidak melihat kata sabar ada di Chelsea, khususnya untuk para manajer. Saya rasa Frank tidak akan mendapatkan waktu sebanyak itu. Ada tekanan besar musim ini karena uang yang sudah dibelanjakan,” ungkap Roy Keane dikutip dari Sky Sports.
“Chelsea tidak memberikan para manajernya waktu. Itu ada dalam DNA dan sejarah mereka. Dia masih baru soal ini. Dia baru 42 tahun. (Juergen) Klopp datang dari Dortmund dan memenangi hadiah-hadiah besar di sana.”
“Dia (Lampard) melawan para manajer ini: (Carlo) Ancelotti, (Jose) Mourinho, (Pep) Guardiola. Orang-orang ini sudah punya CV. Dia tidak akan mendapatkan waktu seperti yang dulu didapatkan Klopp di Liverpool,” imbuhnya.
Lampard Tidak Peduli
SEJAK awal membesut Chelsea. Atau setidaknya musim ini. Saat ia sudah menghamburkan lebih dari 200 juta paun di bursa transfer. Lampard tak pernah suka jika Chelsea disebut calon juara. Apalagi di masa pandemi seperti ini. Di mana jarak antar laga begitu dekat. Banyak hal buruk bisa menimpa klubnya.
Di titik ini, ketika Chelsea sedang dalam masa pesakitan. Lampard mengaku sama sekali tak terkejut. Ia tahu timnya akan kehabisan bensin. Ia tahu akan tiba waktu di mana ia akan masuk daftar pemecatan. Ia tahu semua itu. Dan karenanya ia sama sekali tidak peduli. Ketimbang menumpuk rasa khawatir berlebihan. Lampard memilih fokus memperbaiki kinerja timnya.
“Saya tak khawatir soal itu (dipecat),” kata Lampard dikutip dari Metro.
“Saya sudah memperkirakan masa-masa sulit di musim ini. Saya sudah bilang itu saat kami mengalahkan Leeds United (awal Desember). Dan semua orang malah menjadikan kami kandidat juara (Liga Inggris). Saya tahu itu bukan hal gampang, kami sadar posisi kami.”
“Saya tak peduli apakah isu pemecatan itu memberi tekanan pada saya. Karena sebulan lalu semua orang bertanya kapan saya akan meneken kontrak baru, dan sekarang orang bicara sebaliknya karena dalam periode yang padat dan sibuk, kami kalah empat kali.”
“Tekanan akan hadir secara konstan saat menjadi manajer dan dalam momen sulit. Kamu tahu hal ini akan selalu ada. Saya bukannya tak sadar soal ini saat menerima tawaran melatih Chelsea,” jelas Lampard soal pemecatan dirinya.
Well, apa pun kata Lampard. Seperti apa ia berkelit. Chelsea hanya ingin satu hal. Tunjukkan itu semua di atas lapangan. Menangkan banyak laga. Raih trofi. Atau pelatih baru akan benar-benar mengganti Lampard. Lagi pula, fans Chelsea sendiri sudah mulai jenuh dengan taktik legendanya itu. Mereka mengklaim taktik Lampard begitu monoton. Maka bukan hal yang aneh pula jika akhirnya Chelsea masuk dalam masa sulit seperti ini. (*/sky/met/de/ava)