DISWAYKALTIM.ID,— Kritik terhadap Undang-Undang Omnibus Law tak hanya datang
dari klaster ketenagakerjaan. Di sektor kewenangan daerah, para
kepala daerah mengkhawatirkan kembalinya sentralisasi kekuasaan.
Melalui asosiasi, para bupati/ wali kota ‘menekan’ pemerintah pusat
yang tengah menyiapkan peraturan turunan dari UU kontroversial
itu.
Kekhawatiran para bupati/ wali kota di Indonesia tercermin
dalam rapat Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh
Indonesia (APEKSI). Pekan lalu, mereka meriung di Hotel Ritz
Calton SCBD Jakarta.
Sejumlah pemerintah kota, menghadiri pertemuan itu. Terutama
yang tergabung dalam Dewan Pengawas, Dewan Pengurus dan
Ketua Komwil I-IV APEKSI. Rapat dipimpin Ketua APEKSI Airin
Rachmi Diany, Wali Kota Tanggerang Selatan.
Wakil Ketua APEKSI, Bima Arya dalam keterangan resmi
mengatakan ada kesamaan pandang terkait aspek kewenangan
daerah dalam UU Ciptaker.
“Pengurus APEKSI melihat banyak sekali kewenangan daerah
yang berkurang dan bergeser kembali ke pemerintah pusat,”
katanya. Wali Kota Bogor itu menilai ruh otonomi daerah akan
tergerus dengan UU itu.
“Banyak catatan kami terkait dengan perizinan, tata ruang,
pengelolaan lingkungan hidup, di mana kewenangan daerah
kembali direduksi dan ditarik ke pusat,” kata politisi muda itu.
Senada, Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi, mengingatkan
pemerintah pusat “jangan sampai omnibus law ini
mendegradasi semangat otonomi daerah,” kata dia.
Ia menilai banyak perizinan yang kewenangannya akan beralih
ke pusat. Kendati, tak menyebutkan secara eksplisit, pasal-pasal
mana dalam UU Cipta Kerja, yang dimaksud berpotensi
mendegradasi semangat otonomi daerah.
Namun dia menegaskan, klaster ketenagakerjaan dan
kewenangan daerah akan dibahas lebih lanjut oleh APEKSI. Di
samping nanti, para kepala daerah juga akan terlibat dalam
pembahasan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden
(Perpres). Yang merupakan aturan turunan atau aturan teknis
pelaksanaan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
APEKSI akan menggelar pertemuan dengan para Ahli
Ketatanegaraan, Ahli Otonomi, dan Ahli Keuangan. Selain itu,
APEKSI akan mengajak organisasi pemerintah daerah lainnya.
Seperti Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia
(APKASI). Kemudian Asosiasi Pemerintah Provinsi (APPSI).
Rizal Effendi memastikan ia sudah mengantongi draft UU
Omnibus Law versi 812 halaman yang menjadi pegangan
mempelajari UU kontroversial tersebut.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Mulawarman,
Herdiansyah Hamzah menyatakan, kendati belum detil, namun
dalam kajiannya, sudah mencuat beberapa substansi dalam UU
Omnibus Law yang diduga berpotensi mengurangi kewenangan
daerah. Baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Kewenangan daerah, menurut dia, dikurangi dalam hal penataan
ruang. Yang sebelumnya diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007
tentang Tata Ruang.
Sebelumnya, pemerintah provinsi memiliki wewenang yang
meliputi pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
provinsi.
Wewenang yang sama, juga berlaku sebelumnya bagi pemerintah
kabupaten/kota. Yang diatur di dua pasal berbeda dalam UU Tata
Ruang.
Namun dalam UU Cipta Kerja, kewenangan daerah hanya sebatas
pengaturan, pembinaan, pengawasan dan pelaksanaan penataan
ruang tersebut, dan kerja sama antar daerah.
Lalu kemudian, ada satu pasal lagi yang dihapus dan satu pasal
yang berubah dari UU Tata Ruang di UU Cipta Kerja.
Pasal yang dihapus ialah pasal 8 ayat 4 UU Tata Ruang. Yang
mengatur pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional dapat
dilaksanakan pemerintah daerah melalui dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.
Pasal 9 ayat 1 UU Tata Ruang mengalami perubahan, dari
awalnya penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh
seorang menteri. Dalam UU Cipta Kerja, dilaksanakan oleh
pemerintah pusat.
“Ini salah satu yang telah dikaji,” ucap Herdiansyah dihubungi
Minggu, (18/10).
Catatan lain pria yang akrab disapa Castro itu, terkait dengan
Pasal 172 ayat 2 Bab X (Investasi Pemerintah Pusat dan
Kemudahan Proyek Strategis Nasional). Yang berbunyi “Dalam
hal pengadaan tanah belum dapat dilaksanakan oleh pemerintah
atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pengadaan tanah untuk
proyek strategis nasional dapat dilakukan oleh badan usaha”.
Padahal, dari analisanya, pengadaan tanah untuk kepentingan
umum, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012, tidak
menyebut badan usaha sebagai pihak yang dapat
menyelenggarakan pengadaan tanah. Lebih-lebih dalam
ketentuan Pasal 172 ayat 2 UU Omnibus Law ini, tidak ada definisi
dan batasan mengenai badan usaha yang dimaksud.
Sehingga ini, kata Castro lagi, akan memberi ruang bagi badan
usaha swasta. Padahal “ini jelas bertentangan dengan makna
penguasaan negara sebagaimana dimandatkan Pasal 33 ayat 2
dan 3 UUD 1945,” jelas pengajar FH Unmul yang tergabung
dalam Aliansi Akademisi Tolak UU Omnibus Law Cipta Kerja itu.
Herdiansyah menekankan, bahwa elit dalam membuat aturan
ini, telah melupakan marwah reformasi. “Sangat-sangat
ahistoris. Mereka lupa jika salah satu marwah reformasi adalah
mengubah desain pemerintahan yang sentralistik, menjadi
sistem desentralisasi,” tegasnya.
Semangat itu, katanya lagi, yang secara eksplisit dimandatkan
dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Yang memberikan
kewenangan untuk mengurus dan mengatur sendiri daerahnya.
Sementara pengaturan dalam UU Omnibus Law, implikasinya
kekuasaan makin sentralistik. Yang berarti daerah-daerah tidak
memiliki hak lagi untuk mengatur daerahnya sendiri. “Daerah
pada prinsipnya kehilangan otonomi dan berfungsi sebagai
eksekutorial semata dari kebijakan pemerintah pusat,”
pungkasnya.
Media ini meminta pendapat anggota DPRD Kaltim terkait hal
ini. Namun, Wakil Ketua Komisi II, Baharuddin Demmu, yang
dihubungi mengaku belum bisa memberi komentar.
“Saya belum lihat draft-nya, karena enggak tahu yang mana
yang draft terakhir (final). Nanti saja setelah ada draft final baru
komentar,” katanya, baru-baru ini.
Wakil Ketua DPRD Balikpapan, Sabaruddin Panrecalle,
mengungkapkan hal senada. Politisi Partai Gerindra itu mengaku
belum membaca utuh UU Omnibus Law. Sebabnya, ada tiga draft
yang beredar, dengan jumlah halaman yang berbeda-beda. “Saya
jujur, belum membaca sepenuhnya. Meskipun sudah didemo,”
ujarnya.
Menurutnya, UU ini perlu kajian mendalam. Dan perlu banyak
didiskusikan bersama. Sebab, kata dia, belum tentu isinya
semuanya tidak bagus. “Saya pikir juga pasti ada bagusnya. Tidak
mungkin pemerintah menciptakan UU yang tidak pro kepada
rakyat,” jelas Sabaruddin.
TUMPANG TINDIH
Menanggapi soal pemangkasan kewenangan kepala daerah,
seorang pengusaha yang tidak ingin namanya dikutip
mengatakan, selama ini persoalan yang dihadapi cukup rumit.
Bukan saja soal izin yang berliku, namun sampai merugikan
pelaku usaha.
“Ada beberapa kasus, misalnya dalam momentum pemilihan
kepala daerah, beberapa (kepala daerah) mengobral izin
pemanfaatan lahan untuk meraih dukungan. Akibatnya,
tumpang tindih lahan sampai bertumpuk,” kata dia. Jika terjadi
sengketa, sang kepala daerah dengan enteng melempar
persoalan itu ke pusat.
Sementara Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim,
Slamet Brotosiswoyo mengatakan, UU Omnibus LAW memiliki
semangat mempermudah izin berusaha. Sehingga dengan
tumbuhnya pelaku bisnis, dapat menyerap tenaga kerja.
“Kita sudah punya OSS (One Single Submission) tapi kenyataanya
izin masih sulit. Bagaimana orang mau berusaha yang tujuannya
menciptakan lapangan kerja, tetapi dipersulit,” kata dia.
APEKSI mengkritisi sektor perizinan, tata ruang, pengelolaan
lingkungan hidup. Di sektor itu, terjadi perubahan dimana
kewenangan daerah kembali direduksi dan ditarik ke pusat.
Pasal 174 Omnibus Law UU Cipta Kerja menambahkan satu
aturan soal hubungan pemerintah pusat dan daerah. Pasal ini
mengatur kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai bagian
dari kewenangan presiden.
“Dengan berlakunya undang-undang ini, kewenangan menteri,
kepala lembaga, atau pemerintah daerah yang telah ditetapkan
dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk
peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai
pelaksanaan kewenangan Presiden,” bunyi pasal 174 Omnibus
Law UU Cipta Kerja tersebut.
Pasal 176 UU tersebut juga mengubah sejumlah kewenangan
pemda. Misalnya, kewenangan soal perizinan pada pasal 350
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda).
Pasal 350 ayat (1) UU Pemda menyebut pemda wajib memberikan
pelayanan perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. UU Cipta Kerja menambahkan
kewenangan pemerintah pusat dalam urusan ini.
“Kepala daerah wajib memberikan pelayanan Perizinan Berusaha
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat,” beleid pasal 350 ayat (1) UU Pemda setelah
diubah Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Kemudian Omnibus Law memberi wewenang ekstra bagi
pemerintah pusat dalam urusan perizinan. Mereka boleh
mengambil alih urusan perizinan jika ada pemda yang tidak
menjalankannya dan tidak mengindahkan dua kali teguran.
Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
dan ayat (8) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan
tetap tidak dilaksanakan oleh kepala daerah:
a. menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi
Perizinan Berusaha sektor mengambil alih pemberian Perizinan
Berusaha yang menjadi kewenangan gubernur; atau
b. gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengambil alih
pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan
bupati/wali kota,” beleid pasal 350 ayat (9) sebagaimana diatur
di Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Untuk mengawal kebijakan dan masukan-masukan dari para
pemangku kepentingan, APEKSI membentuk tim khusus.
Targetnya, mereka dilibatkan dalam perumusan aturan-aturan
turunannya. (das/yos)